Berikut ini ringkasan isi PMK/Permenkes No. 65 Tahun 2013:
Isi Permenkes Nomor 65 Tahun 2013
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DAN PEMBINAAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BIDANG KESEHATAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa
pembangunan kesehatan tidak
semata menjadi
tanggung jawab pemerintah tetapi juga
harus melibatkan seluruh
elemen
masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya;
b. bahwa dalam rangka
pemberdayaan
masyarakat
diperlukan satu pedoman yang diacu oleh berbagai pihak agar terjadi keharmonisan gerakan dan upaya yang
dilakukan dalam mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya;
c. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dan huruf
b,
perlu
menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Pelaksanaan
dan Pembinaan Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008
Nomor
59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4700);
3. Undang-Undang
Nomor
36
Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063);
4. Peraturan Pemerintah Nomor
72
Tahun
2005 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4587);
5. Peraturan
Pemerintah Nomor
73
Tahun
2005 tentang Kelurahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4);
6. Peraturan
Pemerintah Nomor
79
Tahun
2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
7. Peraturan
Pemerintah Nomor
38
Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
8.
Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang
Sistem Kesehatan Nasional;
9.
Peraturan Menteri Dalam
Negeri
Nomor
7
Tahun
2007
tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat;
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun
2007 tentang Pedoman Penyusunan dan
Pendayagunaan Profil Desa/Kelurahan;
11. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun
2007 tentang Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa/Kelurahan;
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun
2007 tentang Pedoman Umum Tata Cara Pelaporan dan Pertanggungjawaban Penyelenggaraan
Pemerintahan
Desa;
13. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun
2007 tentang Pedoman Pembentukan
Kelompok
Kerja Operasional Pembinaan Pos
Pelayanan
Terpadu;
14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun
2007 tentang Perencanaan Pembangunan
Desa;
15. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
828/Menkes/SK/IX/2008 tentang
Petunjuk Teknis
Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan
di
Kabupaten/Kota;
16. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1144/Menkes/Per/VIII/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan
(Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 585)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 35 Tahun 2013 (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 741);
17.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1529/Menkes/SK/X/2010 tentang Pedoman Umum Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif;
18. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun
2011 tentang Pedoman Pengintegrasian Layanan
Sosial Dasar di Pos Pelayanan Terpadu;
19.
|
Peraturan Menteri
|
Kesehatan
|
Nomor
|
2269/Menkes/Per/XI/2011
|
tentang
|
Pedoman
|
Pembinaan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 755);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEDOMAN
PELAKSANAAN DAN PEMBINAAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BIDANG
KESEHATAN.
Pasal 1
Pedoman
Pelaksanaan dan Pembinaan
Pemberdayaan Masyarakat Bidang
Kesehatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 2
Pedoman Pelaksanaan dan Pembinaan Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 digunakan sebagai acuan bagi semua pemangku kepentingan dalam rangka pelaksanaan dan pembinaan upaya pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan.Pasal 3
Pendanaan pelaksanaan Peraturan Menteri ini dapat bersumber
dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara, Anggaran Belanja dan Pendapatan
Daerah, serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Pasal 4
Menteri Kesehatan,
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini
dengan melibatkan lintas sektor dan
pemangku kepentingan terkait.
Pasal 5
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di Jakarta
pada
tanggal 30 Oktober 2013
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NAFSIAH
MBOI Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 12 November 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR
SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2013 NOMOR 1318
LAMPIRANPERATURAN MENTERI KESEHATANNOMOR 65 TAHUN 2013 TENTANGPEDOMAN PELAKSANAAN DAN PEMBINAAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BIDANG KESEHATAN
PEDOMAN PELAKSANAAN DAN PEMBINAAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BIDANG KESEHATAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuai dengan visi pembangunan nasional, yaitu “Indonesia
yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur” sebagaimana
ditetapkan dalam Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun
2007 tentang Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, maka salah
satu yang harus dipenuhi adalah
menjadi bangsa yang berdaya saing.
Untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing
diperlukan pembangunan sumber daya manusia, yang ditandai dengan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Salah satu unsur penting bagi peningkatan IPM adalah
derajat kesehatan. Dalam rangka mencapai derajat kesehatan yang setinggi- tingginya, Pemerintah
Indonesia telah menetapkan tujuan pembangunan kesehatan, yang
dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dijelaskan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya
dengan memberdayakan dan
mendorong peran aktif
masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan.
Masih tingginya angka
kematian ibu, angka kematian bayi dan
prevalensi gizi kurang pada balita menjadi
masalah besar dalam upaya membentuk
generasi yang mandiri dan berkualitas. Sehingga, penting untuk melakukan
penataan kembali berbagai langkah-langkah, antara lain di bidang pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia,
lingkungan hidup dan kelembagaannya sehingga bangsa Indonesia dapat mengejar
ketertinggalan dan mempunyai
posisi yang sejajar serta daya saing yang kuat di dalam pergaulan masyarakat internasional.
Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan sangat
penting. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
disamping ketentuan ini tercantum dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
juga sebagai berikut 1) Dari hasil kajian
ternyata 70% sumber daya
pembangunan nasional berasal kontribusi/partisipasi
masyarakat; 2) Pemberdayaan masyarakat/partisipasi masyarakat berazaskan gotong
royong, merupakan budaya masyarakat Indonesia
yang
perlu dilestarikan; 3) Perilaku masyarakat merupakan faktor penyebab utama, terjadinya permasalahan kesehatan, oleh sebab itu masyarakat
sendirilah yang dapat menyelesaikan
masalah tersebut dengan
pendampingan/bimbingan pemerintah; 4) Pemerintah mempunyai keterbatasan sumber
daya dalam mengatasi permasalahan kesehatan yang semakin kompleks di masyarakat, sedangkan masyarakat mempunyai potensi yang cukup besar untuk
dapat dimobilisasi dalam upaya pencegahan di
wilayahnya; 5) Potensi yang dimiliki masyarakat diantaranya meliputi community leadership, community
organization,
community financing, community material, community knowledge, community
technology, community
decision making
process, dalam upaya peningkatan kesehatan, potensi
tersebut perlu dioptimalkan; 6) Upaya pencegahan
lebih efektif dan efisien
dibanding upaya pengobatan, dan masyarakat juga mempunyai kemampuan untuk melakukan upaya pencegahan
apabila dilakukan upaya pemberdayaan
masyarakat terutama untuk ber-perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Sejalan dengan upaya
Pemerintah dalam memberdayakan dan mendorong peran serta
masyarakat dalam
upaya
kesehatan agar hidup
sehat, tentu
akan mendukung pencapaian MDG’s pada tahun 2015 meningkatnya angka harapan hidup (72 tahun), menurunnya
tingkat kematian bayi ( 24 per 100 KH)
dan menurunnya kematian ibu melahirkan
(102 per 100 ribu KH) serta menurunnya gizi kurang pada balita (15 %).
Perjalanan pemerintah dalam mendorong masyarakat untuk
terlibat dalam mewujudkan masyarakat yang sehat tampaknya menjadi acuan dan
inspirasi untuk menghidupkan kembali
pemberdayaan dan partisipasi aktif masyarakat bidang kesehatan. Pemerintah Indonesia
di era 70-an sampai 80-an berhasil memberdayakan dan mendorong
peran aktif masyarakat di bidang kesehatan melalui Gerakan Pembangunan Kesehatan Masyarakat
Desa (PKMD). Program ini mengalami
pasang surut ketika terjadi krisis ekonomi, kisah
sukses tersebut menjadi motivasi bagi Tim Penggerak PKK untuk tetap bertahan dan mengaktifkan
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan hingga saat
ini terdapat 84,3% desa dan
kelurahan memiliki Posyandu. Kejayaan
PKMD diupayakan untuk dibangkitkan kembali melalui pengembangan dan pembinaan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif.
Untuk keberhasilan penyelenggaraan berbagai upaya pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan lebih difokuskan pada: a) meningkatnya perubahan
perilaku dan kemandirian masyarakat untuk hidup bersih dan sehat, b) meningkatnya kemandirian masyarakat dalam
sistem peringatan dini, penanggulangan dampak kesehatan akibat bencana,
serta terjadinya wabah/KLB, c) meningkatnya keterpaduan pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan dengan kegiatan yang berdampak pada income
generating. Disamping
itu, upaya pemberdayaan masyarakat
harus dimulai dari masalah dan potensi spesifik daerah, oleh karenanya
diperlukan pendelegasian wewenang lebih besar kepada daerah. Kesiapan
daerah dalam menerima dan menjalankan kewenangannya sangat
dipengaruhi oleh tingkat kapasitas daerah yang meliputi perangkat organisasi dan sumberdaya
manusianya, serta kemampuan fiskal.
B. Tujuan
Meningkatnya upaya kesehatan bersumber daya masyarakat
(UKBM) sehingga masyarakat
mampu mengatasi
permasalahan kesehatan yang dihadapi secara mandiri
dan menerapkan perilaku hidup bersih
dan sehat
(PHBS)
dengan lingkungan yang
kondusif melalui pembinaan pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan yang terintegrasi dan bersinergi oleh pemangku
kepentingan terkait.
C. Sasaran
Sasaran dari pedoman
ini adalah semua
pemangku kepentingan terkait
untuk bekerjasama dalam pelaksanaan dan pembinaan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan baik di tingkat
pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pedoman ini meliputi
pelaksanaan dan pembinaan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan dan peran pemangku kepentingan terkait dalam pelaksanaan
dan pembinaan pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan oleh baik
di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya.
BAB II
KONSEP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BIDANG KESEHATAN
A. Pengertian
Konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian community development (pembangunan
masyarakat) dan community-based
development (pembangunan yang bertumpu pada masyarakat). Tahap selanjutnya muncul istilah community driven development yang
diterjemahkan sebagai pembangunan yang
diarahkan masyarakat atau pembangunan yang
digerakkan masyarakat. Pembangunan yang digerakkan masyarakat
didefinisikan sebagai kegiatan pembangunan yang diputuskan sendiri oleh warga komunitas dengan menggunakan
sebanyak mungkin sumber daya setempat.
Pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitasi yang bersifat
non instruktif, guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat,
agar mampu mengidentifikasi masalah yang dihadapi, potensi yang dimiliki, merencanakan dan melakukan pemecahannya
dengan memanfaatkan potensi setempat.
Pemberdayaan masyarakat
di bidang kesehatan adalah proses pemberian informasi kepada individu, keluarga atau kelompok
(klien) secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan klien, serta proses
membantu klien, agar klien tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek pengetahuan atau
knowledge), dari tahu menjadi
mau (aspek sikap atau attitude), dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang
diperkenalkan (aspek tindakan atau practice).
Pemberdayaan Masyarakat
bidang kesehatan merupakan
suatu proses aktif, dimana sasaran/klien dan
masyarakat yang diberdayakan
harus berperan serta aktif (berpartisipasi) dalam kegiatan dan program kesehatan. Ditinjau dari konteks pembangunan kesehatan, partisipasi
masyarakat adalah keikutsertaan dan kemitraan masyarakat dan fasilitator (pemerintah, LSM) dalam pengambilan keputusan,
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan
dan penilaian kegiatan dan program kesehatan serta memperoleh manfaat dari keikutsertaannya dalam rangka membangun kemandirian masyarakat.
UKBM adalah wahana pemberdayaan
masyarakat, yang dibentuk atas
dasar kebutuhan masyarakat, dikelola oleh, dari, untuk dan bersama masyarakat, dengan bimbingan dari
petugas Puskesmas, lintas sektor dan
lembaga terkait lainnya.
Proses pemberdayaan masyarakat terkait erat dengan faktor internal dan eksternal yang saling
berkontribusi dan mempengaruhi secara sinergis dan dinamis. Salah satu
faktor eksternal dalam proses pemberdayaan masyarakat
adalah pendampingan oleh fasilitator pemberdayaan masyarakat. Peran
fasilitator pada awal proses sangat aktif tetapi akan berkurang secara bertahap
selama proses berjalan sampai
masyarakat sudah mampu menyelenggarakan
UKBM secara mandiri dan menerapkan
PHBS.
PHBS adalah sekumpulan
perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga, kelompok
atau masyarakat
mampu menolong
dirinya sendiri (mandiri) dibidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat.
B. Prinsip Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan
Pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan dilaksanakan dengan prinsip-prinsip:
1. Kesukarelaan, yaitu
keterlibatan seseorang dalam
kegiatan
pemberdayaan masyarakat tidak
boleh
berlangsung karena adanya pemaksaan, melainkan
harus dilandasi oleh kesadaran
sendiri dan motivasinya untuk memperbaiki dan memecahkan masalah kehidupan yang dirasakan.
2. Otonom, yaitu kemampuannya untuk mandiri atau melepaskan
diri dari ketergantungan yang dimiliki oleh setiap
individu, kelompok, maupun kelembagaan yang
lain.
3. Keswadayaan, yaitu
kemampuannya untuk
merumuskan melaksanakan kegiatan dengan
penuh tanggung jawab, tanpa menunggu atau mengharapkan dukungan pihak luar.
4. Partisipatif, yaitu keikutsertaan semua pemangku
kepentingan sejak pengambilan keputusan, perencanan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan
pemanfaatan hasil-hasil kegiatannya.
5. Egaliter, yang menempatkan
semua pemangku kepentingan dalam kedudukan yang setara, sejajar,
tidak ada yang ditinggikan dan tidak ada yang merasa direndahkan.
6. Demokratis, yang memberikan hak kepada semua
pihak untuk mengemukakan pendapatnya,
dan saling menghargai pendapat
maupun perbedaan di antara sesama pemangku kepentingan.
7. Keterbukaan, yang dilandasi kejujuran,
saling percaya, dan saling
memperdulikan.
8. Kebersamaan,
untuk saling berbagi rasa, saling
membantu dan mengembangkan sinergisme.
9. Akuntabilitas, yang
dapat
dipertanggungjawabkan
dan
terbuka
untuk diawasi oleh siapapun.
10.
Desentralisasi, yang memberi
kewenangan kepada setiap daerah
otonom (kabupaten dan
kota) untuk mengoptimalkan sumber daya kesehatan bagi sebesar-besar
kemakmuran masyarakat dan kesinambungan pembangunan kesehatan.
Lebih lanjut, pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan
juga melandaskan pada:
(1) Prinsip-prinsip menghargai yang
lokal,
yang
mencakup: pengetahuan lokal, keterampilan lokal, budaya lokal, proses lokal, dan sumber daya lokal.
(2) Prinsip-prinsip ekologis, yang meliputi:
keterkaitan, keberagaman,
keseimbangan, dan keberlanjutan
(3)
Prinsip-prinsip keadilan sosial dan Hak Asasi Manusia, yang tidak merugikan dan senantiasa memberikan manfaat kepada semua
pihak
BAB III
ARAH DAN STRATEGI PELAKSANAAN DAN PEMBINAAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BIDANG KESEHATAN
A. Arah Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan
Mengacu pada tujuan
pembangunan jangka panjang
bidang kesehatan yaitu 1) peningkatan
kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dalam bidang
kesehatan; 2) perbaikan mutu
lingkungan hidup yang dapat menjamin kesehatan; 3) peningkatan status gizi masyarakat; 4) pengurangan kesakitan
(morbiditas) dan kematian (mortalitas), serta 5) pengembangan keluarga berkualitas.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut dilaksanakan upaya antara lain : 1) pengembangan peningkatan
swadaya masyarakat dalam pembangunan kesehatan dengan pendekatan edukatif dan
2) pembinaan peran serta masyarakat termasuk swasta dalam upaya kesehatan.
Berdasarkan upaya tersebut maka pelaksanaan dan pembinaan pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan diarahkan pada 1)
pemberdayaan aparat bertujuan agar aparat
lebih mampu, responsif dan akomodatif, dan 2) pemberdayaan
rakyat bertujuan agar rakyat lebih mampu, proaktif dan aspiratif. Dengan demikian pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan merupakan suatu proses membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku dan pengorganisasian masyarakat bidang kesehatan.
Oleh karena itu, pelaksanaan dan pembinaan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan,
secara umum ditujukan pada meningkatnya kemandirian
masyarakat dan keluarga dalam bidang kesehatan sehingga masyarakat dapat
memberikan andil dalam meningkatkan derajat kesehatannya. Secara khusus ditujukan pada
1)
meningkatnya pengetahuan
masyarakat dalam
bidang kesehatan;
2)
meningkatnya kemampuan masyarakat dalam pemeliharaan dan
peningkatan derajat kesehatannya sendiri; 3) meningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan
kesehatan oleh masyarakat dan 4) terwujudnya pelembagaan upaya kesehatan
bersumber daya masyarakat.
B. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan
Strategi pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan mencakup sebagai berikut :
1. Pemberdayaan
masyarakat
merupakan
suatu
upaya
dalam
peningkatan kemampuan masyarakat guna meningkatkan harkat hidup, martabat dan
derajat kesehatannya;
2. Peningkatan keberdayaan berarti peningkatan kemampuan
dan kemandirian masyarakat agar dapat mengembangkan
diri
dan memperkuat sumber daya yang dimiliki untuk mencapai kemajuan.
|
Untuk itu, strategi pelaksanaan dan pembinaan pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan sebagai berikut:
sebesar-besarnya untuk terlibat
aktif dalam proses pembangunan kesehatan.
2. Pengembangan/pengorganisasian masyarakat (community
organization)
dalam pemberdayaan dengan mengupayakan
peran
organisasi masyarakat lokal makin berfungsi
dalam pembangunan kesehatan.
3. Peningkatan upaya
advokasi yang
mendukung masyarakat memperjuangkan kepentingannya melalui pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan.
4. Penggalangan kemitraan dan
partisipasi lintas sektor terkait, swasta, dunia usaha dan
pemangku kepentingan dalam pengembangan dan pembinaan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan.
5. Peningkatan pemanfaatan potensi dan sumber daya berbasis kearifan lokal baik
dana dan tenaga serta budaya.
Kegiatan dalam pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan mencakup:
1. Upaya
membangun kesadaran kritis
masyarakat dimana masyarakat diajak untuk
berpikir
serta
menyadari
hak
dan
kewajibannya di bidang
kesehatan. Membangun kesadaran
masyarakat merupakan awal dari kegiatan
pengorganisasian
masyarakat yang dilakukan dengan membahas bersama tentang harapan mereka,
berdasarkan prioritas masalah kesehatan sesuai dengan sumber daya yang
dimiliki.
2. Perencanaan Partisipatif merupakan proses untuk mengidentifikasi masalah kesehatan
serta potensi selanjutnya menerjemahkan tujuan ke dalam kegiatan nyata dan
spesifik yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam perencanaan segala hal dalam
kesehatan. Kegiatan ini dilakukan sendiri oleh masyarakat didampingi oleh
fasilitator. Hal
ini, selain dapat
menimbulkan rasa percaya akan hasil
perencanaan juga membuat masyarakat
mempunyai rasa memiliki terhadap kegiatan yang dilakukan. Perencanaan partisipatif
ini
berbasis
pada
hasil
survei dan pemetaan mengenai potensi, baik kondisi fisik lingkungan dan sosial masyarakat, yang digali oleh masyarakat sendiri.
3.
Pengorganisasian masyarakat sendiri
merupakan proses yang mengarah pada terbentuknya
kader masyarakat yang bersama masyarakat dan fasilitator berperan aktif dalam lembaga berbasis masyarakat (Forum
Masyarakat Desa)
sebagai
representasi masyarakat yang akan
berperan sebagai penggerak masyarakat dalam melakukan kegiatan pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan.
4.
Monitoring dan evaluasi dilakukan
oleh masyarakat
bersama dengan pengelola
pemberdayaan
dengan
menggunakan metode dan waktu yang disepakati bersama
secara berkesinambungan untuk mengetahui dan
menilai
pencapaian kegiatan yang dijalankan. Hasil evaluasi ini digunakan
sebagai rujukan untuk melakukan
kegiatan yang berkelanjutan.
BAB IV
METODE
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BIDANG KESEHATAN
A.
Metode
Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan
Dalam upaya mencapai tujuan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan diperlukan peran
fasilitator, dimana fasilitator bertanggungjawab dalam mengkomunikasikan
inovasi di bidang kesehatan kepada masyarakat penerima manfaat.
Tujuannya adalah agar penerima manfaat tahu, mau, dan
mampu menerapkan inovasi tersebut demi
tercapainya perbaikan mutu hidupnya di bidang kesehatan. Perlu diingat bahwa keberadaan
masyarakat penerima manfaat sangat beragam
dalam hal budaya, sosial, kebutuhan,
motivasi, dan tujuan yang diinginkan.
Mengingat keberadaaan masyarakat penerima manfaat
pemberdayaan yang sangat beragamnya maka metode yang digunakan dalam pemberdayaan
tersebut tidaklah paten dengan menggunakan suatu metode tertentu saja, bahwa tidak ada satupun metode yang selalu efektif untuk diterapkan dalam
setiap kegiatan pemberdayaan masyarakat. Bahkan dalam banyak kasus penerapan
metode dalam suatu kegiatan pemberdayaan
masyarakat harus menggunakan beragam
metode sekaligus yang saling menunjang dan melengkapi. Untuk itu, seorang fasilitator harus mampu memilih metode
yang paling tepat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat dan
mengkontekstualisasikan inovasi yang dimiliki
ke dalam budaya masyarakat penerima manfaat untuk tercapainya tujuan
pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakannya.
Dalam pelaksanaan pemberdayaan
masyarakat, seorang fasilitator harus bisa memilih metode yang paling sesuai dan tepat
dengan kebutuhan masyarakat setempat, dalam pemilihan metode tersebut seorang fasilitator harus memperhatikan
beberapa prinsip berikut :
1. Pengembangan untuk berpikir kreatif
dimana masyarakat harus diajak untuk berpikir kreatif, bisa
mencari solusi sendiri atas masalah yang dihadapinya.
2. Tempat yang paling
baik
adalah
ditempat
kegiatan
penerima
manfaat sehingga tidak banyak menyita waktu kegiatan rutinnya,
fasilitator bisa memahami betul keadaan penerima manfaat dan penerima manfaat dapat ditunjukkan beberapa contoh nyata
tentang potensi masalah dan peluang yang dapat ditemukan di lingkungan
pekerjaannya sendiri sehingga
penerima manfaat mudah memahami dan
mengingatnya.
3. Setiap individu terikat dengan
lingkungan
sosialnya
sehingga
kegiatan pemberdayaan akan lebih efisien
jika diterapkan kepada masyarakat khususnya kepada mereka yang diakui masyarakat setempat sebagai panutan atau
tokoh masyarakat.
4. Menciptakan
hubungan
yang
akrab
antara
fasilitator
dengan
penerima manfaat karena suasana akrab akan memperlancar kegiatan pemberdayaan
masyarakat.
5. Memberikan
suasana
untuk
terjadinya
perubahan
agar
terjadi
perbaikan mutu dan kualitas hidup baik diri,
keluarga dan masyarakatnya.
B. Ragam Metode
Berikut dapat digunakan
|
beberapa
|
metode
|
dalam
upaya
|
pemberdayaan masyarakat
|
bidang
|
kesehatan
|
sesuai dengan
|
kebutuhan
dan kondisi serta potensi yang dimiliki:
1. Metode Rapid Rural Appraisal (RRA) atau penilaian desa secara partisipatif
Merupakan teknik penilaian yang relatif terbuka, cepat dan
bersih dibanding dengan teknik kunjungan singkat
sebagai sebuah metode penilaian. RRA menggabungkan beberapa teknik yang terdiri dari:
(a) review atau
telaah data sekunder, termasuk peta wilayah dan
pengamatan lapangan,
(b) observasi lapangan secara langsung,
(c) wawancara dengan informan kunci dan
lokakarya, (d) pemetaan dan pembuatan diagram/grafik,
(e) studi kasus, sejarah lokal dan
biografi,
(f) pembuatan kuesioner sederhana dan
singkat, serta
(g) pembuatan laporan lapangan secara
cepat.
2. Metode Participatory Rapid Appraisal (PRA)
Merupakan
metode pengkajian pemberdayaan
masyarakat desa yang lebih banyak
melibatkan pihak dalam yang terdiri
dari pihak stakeholder
(pemangku kepentingan
kegiatan) dengan difasilitasi pihak luar yang berfungsi sebagai narasumber atau
fasilitator. PRA merupakan metode penilaian keadaan secara partisipatif yang
dilakukan pada tahapan awal perencanaan kegiatan.
Dalam PRA terdapat 5
kegiatan pokok yaitu penjajakan/pengenalan kebutuhan, perencanaan kegiatan,
pelaksanaan/pengorganisasian
kegiatan, pemantauan kegiatan dan evaluasi kegiatan.
Adapun langkah-langkah metode PRA meliputi :
1. Penelusuran
sejarah desa
2. Pembuatan
bagan kecenderungan dan perubahan
3. Penyusunan
kalender musim dan profil perubahan
4. Analisis
pola penggunaan waktu (jadwal sehari-hari)
5. Observasi
langsung terhadap dinamika sosial
6. Transect (penelusuran
desa)
dan
pembuatan gambar lingkungan (pemetaan
prasarana, bangunan, ruangan, sumber daya alam dan lokasi)
7. Pembuatan
diagram kajian lembaga desa
8. Pembuatan
bagan alur input-output
9. Bagan
hubungan antar pihak (diagram venn)
10. Mengkaji mata pencaharian masyarakat
11. Membuat matrik dan peringkat permasalahan yang dihadapi dan
ditemukan masyarakat
12. Wawancara semi-terstruktur atau diskusi
kelompok terarah
13. Analisis pola keputusan
14.
Studi kasus
atau cerita tentang kehidupan,
peta mobilisasi masyarakat.
15. Pengurutan potensi atau kekayaan
16. Pengorganisasian masalah
3. Metode Participatory Learning and Action (PLA)
Metode PLA merupakan
penyempurnaan dari metode “learning
by doing”.
Persyaratan dasar PLA adalah a) adanya
kemauan dan komitmen untuk mendengarkan, menghormati dan beradaptasi, b) tersedia banyak waktu yang dibutuhkan untuk pertemuan
atau pelatihan, c) komunitas telah
didampingi oleh organisasi yang paham dengan keadaan masyarakat, dan d) perlu dibangun suasana/komunikasi yang mendorong masyarakat
memiliki kepercayaan pada pihak luar
(fasilitator).
Adapun proses PLA terdiri
dari 1) pertukaran ide yang
adil dan terbuka antara masyarakat
dan organisasi/fasilitator, 2) diawali dengan pelatihan/orientasi untuk staf organisasi/fasilitator mengenai filisofi dan metode
PLA,
3)
sekurangnya ada 2 hari
bekerja bersama masyarakat, lebih baik lagi dapat tinggal/hidup bersama masyarakat, 4) perlu ada dukungan lanjutan dalam
melakukan tindakan masyarakat dari pihak pemerintah desa, dsb
4.
Participatory Assessment
and Planning (PAP)
PAP sejalan bahkan
serupa
dengan
metode
PRA.
Metode ini diadopsi dari 2 sumber yaitu Field Book WSLIC dan
Partisipatory
Analysis
Techniques DFID.
Metode PAP terdiri atas 4 langkah
yaitu:
a. Menemukan
masalah
Langkah ini dimaksudkan
agar masyarakat mengidentifikasi
kondisi, situasi dan masalah sosial di sekitar masyarakat setempat.
b. Menemu Kenali
Potensi
Potensi yang dimiliki masyarakat ini merupakan sistem sumber yang dapat
dikelola secara optimal
guna mengatasi permasalahan sosial
maupun pemberdayaan masyarakat setempat.
c. Menganalisis masalah dan potensi
Mengkaji berbagai masalah, penyebab,
hubungan kausalitas serta fokus masalah, mencari prioritas masalah, faktor
pendukung maupun penghambat.
d. Memilih
solusi pemecahan masalah
Langkah ini merupakan
upaya-upaya kongkrit untuk memecahkan masalah melalui kegiatan 1) mencegah timbulnya masalah lebih jauh, 2) memobilisasi sistem sumber dan potensi,
3) menentukan alternatif pemecahan masalah dan 4) pertemuan
masyarakat untuk menentukan skenario tindakan.
5. Participatory Hygiene and
Sanitation
Transformation (PHAST)
PHAST merupakan metode pembelajaran partisipatif dalam membangun kemampuan swadaya
masyarakat untuk memecahkan masalah masyarakat. Tujuan PHAST adalah untuk memberdayakan masyarakat dalam mengelola air dan mengendalikan penyakit yang berhubungan dengan sanitasi melalui
peningkatan kesadaran terhadap kesehatan serta perbaikan dan perilaku.
Prinsip – prinsip pemberdayaan masyarakat
pada PHAST adalah 1)
warga masyarakat menentukan prioritas pencegahan
penyakit, 2) warga masyarakat secara kolektif telah memiliki pengalaman dan
pengetahuan kesehatan yang sangat hebat,
dalam dan luas 3) masyarakat mampu
untuk mencapai kesepakatan mengenai
perilaku-perilaku hygiene dan system
sanitasi yang lebih tepat
dengan lingkungan ekologis dan budaya, 4) bila warga masyarakat mengerti bahwa
sanitasi itu menguntungkan, maka mereka akan bertindak, 5) warga masyarakat dapat mengelola seperangkat
penghalang atau barrier yang
dapat membantu untuk menghambat penularan penyakit, masyarakat dapat mengidentifikasi penghalang yang tepat berdasarkan pada
persepsi efektifitas dan menurut sumber daya setempat.
6. Communication for
Behaviour Impact (COMBI)
COMBI merupakan
mobilisasi yang diarahkan pada penggerakan tugas semua masyarakat dan perorangan yang mempengaruhi
tindakan tepat secara perorangan dan keluarga. COMBI merupakan
proses dengan strategi campuran berbagai intervensi komunikasi yang dimaksudkan
untuk mengikut sertakan perorangan
dan keluarga dalam mempertimbangkan perilaku-perilaku sehat yang
direkomendasikan dan untuk mendorong
penerimaan dan pemeliharaan perilaku.
Adapun langkah-langkah kunci dalam merancang rencana COMBI meliputi 1) mengidentifikasi tujuan yang
berhubungan dengan perilaku, 2) analisis
situasi pasar, 3) strategi komunikasi dan
campuran, 4) implementasi, pemantauan dan penilaian, serta anggaran.
BAB V
PERAN
PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM
PELAKSANAAN DAN PEMBINAAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BIDANG KESEHATAN
Pemberdayaan masyarakat
di bidang kesehatan
dapat dilakukan dengan pendekatan a) Makro, dilakukan dengan membangun komitmen di
setiap jenjang, membangkitkan opini masyarakat,
menyediakan petunjuk teknis
operasional atau petunjuk pelaksanaan dan biaya operasional, serta monitoring
dan evaluasi serta koordinasi; b) Mikro, dilakukan
dengan menggali potensi yang belum
disadari masyarakat (potensi dapat
muncul dari adanya kebutuhan masyarakat) yang diperoleh melalui
pengarahan, pemberian masukan, dialog, kerjasama dan pendelegasian serta
membuat model-model percontohan dan prototipe pengembangan masyarakat.
A. TINGKAT PUSAT A.1. Persiapan
1.
Diseminasi informasi mengenai pelaksanaan
dan
pembinaan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan dengan
kementerian/lembaga dan pihak
lain
yang
terkait
termasuk
organisasi masyarakat dan dunia usaha.
2.
Mengembangkan sistim database dan informasi terkait pelaksanaan dan pembinaan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan yang terintegrasi.
A.2. Perencanaan
1. Merencanakan teknis pelaksanaan dan pembinaan
pemberdayaan masyarakat dengan kementerian/lembaga dan pihak lain yang terkait termasuk organisasi
masyarakat
dan
dunia usaha.
2. Mengalokasikan anggaran
untuk pelaksanaan dan pembinaan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan.
A.3.
Pelaksanaan
1.
Membentuk kelembagaan untuk
pelaksanaan dan pembinaan pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan tingkat pusat yang beranggotakan kementerian/lembaga dan
pihak lain yang terkait termasuk organisasi masyarakat dan dunia usaha.
2. Menetapkan kebijakan
yang mendukung operasionalisasi
pelaksanaan dan pembinaan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan.
3. Menerbitkan
pedoman dan petunjuk
teknis yang diperlukan dalam pelaksanaan dan pembinaan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan.
4.
Mensosialisasikan kebijakan, pedoman dan petunjuk teknis yang mendukung
operasionalisasi pelaksanaan dan pembinaan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan.
5.
Menyelenggarakan kegiatan peningkatan kapasitas
aparatur provinsi dalam
pelaksanaan dan
pembinaan pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan.
6. Melakukan pembinaan dan
pendampingan pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan kepada Provinsi.
7. Memfasilitasi stimulan untuk
pelaksanaan pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan.
8.
Menyelenggarakan sistim database dan informasi
terkait pelaksanaan dan pembinaan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan yang terintegrasi di
tingkat pusat.
A.4.
Monitoring Evaluasi
1.
Pemantauan berkala terintegrasi perkembangan kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan pada
lingkup nasional
2.
Melaporkan perkembangan dan upaya perbaikan
kegiatan pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan kepada
Kementerian Kesehatan dan
Kementerian/Lembaga terkait secara berkala
3.
Melakukan evaluasi secara
periodik. Pemantauan dan pengawasan independen oleh berbagai pihak, baik secara internal
maupun eksternal. Hasil monitoring dan evaluasi ini digunakan sebagai rujukan
untuk melakukan kegiatan yang berkelanjutan.
B. TINGKAT PROVINSI B.1. Persiapan
1.
Diseminasi informasi upaya pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan di tingkat provinsi dengan dinas kesehatan dan SKPD
serta pihak lain yang terkait.
2.
Membentuk dan mengaktifkan kelembagaan untuk pelaksanaan kegiatan
pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan tingkat provinsi yang
beranggotakan dinas
kesehatan dan SKPD
serta
pihak lain yang terkait.
B.2.
Perencanaan
1. Merencanakan teknis kegiatan pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan bersama SKPD dan pihak lain yang terkait.
2. Mengalokasikan anggaran
untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan yang bersumber dari APBN,
APBD, Swasta/Dunia Usaha dan masyarakat.
B.3.
Pelaksanaan
1. Menerapkan kebijakan yang sudah ditetapkan
dari tingkat pusat.
2. Menetapkan
kebijakan koordinatif dan pembinaan dalam bentuk penetapan peraturan atau keputusan tentang kegiatan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan.
3.
Menetapkan mekanisme koordinasi
antar instansi terkait dengan seluruh instansi yang terlibat dalam
kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan.
4.
Membentuk dan mengaktifkan kelembagaan untuk pelaksanaan kegiatan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan di tingkat
Provinsi bersama SKPD dan pihak terkait.
5.
Menyelenggarakan
peningkatan kapasitas
bagi petugas pelaksanaan, yaitu
pelatihan manajemen dan
pelatihan
pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan.
6. Memfasilitasi sumber daya dan sumber
dana untuk pelaksanaan dan pembinaan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan
7. Melakukan pembinaan dan
pendampingan kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan kepada
Kabupaten/Kota.
8. Menyelenggarakan sistim
database dan informasi
kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan yang terintegrasi.
B.4.
Monitoring dan Evaluasi
1. Pemantauan berkala terintegrasi mengenai
perkembangan kegiatan pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan lingkup provinsi secara berkala.
2. Pemantauan dan pengawasan
dilakukan
oleh
lembaga
yang
terbentuk di tingkat provinsi sesuai dengan tugas dan fungsinya.
3.
Pemantauan dan pengawasan independen dilakukan oleh berbagai pihak baik secara
internal maupun eksternal.
4. Melaporkan perkembangan dan
upaya perbaikan
kegiatan pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan kepada pengambil kebijakan tingkat provinsi secara
berkala
5.
Melakukan evaluasi secara
periodik. Hasil
monitoring dan evaluasi ini digunakan sebagai
rujukan untuk
melakukan
kegiatan yang berkelanjutan.
C. TINGKAT KABUPATEN/KOTA
C.1. Persiapan
1.
Diseminasi informasi pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan tingkat Kabupaten/Kota dengan
SKPD dan pihak lain yang terkait.
2. Membentuk dan mengaktifkan kelembagaan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan tingkat
kabupaten/kota yang beranggotakan SKPD dan pihak lain
yang terkait.
C.2.
Perencanaan
1. Merencanakan teknis kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan
SKPD dan pemangku kepentingan terkait.
2. Mengalokasikan anggaran
untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan
yang bersumber dari dana APBN, APBD, Swasta/Dunia Usaha dan masyarakat.
C.3.
Pelaksanaan
1. Menerapkan kebijakan yang telah ditetapkan
di tingkat provinsi.
2.
Menetapkan kebijakan koordinatif dan pembinaan dalam bentuk penetapan peraturan atau
keputusan tentang kegiatan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan.
3. Menetapkan mekanisme
koordinasi antar dinas
terkait dengan seluruh dinas yang terlibat dalam
kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan.
4.
Membentuk dan mengaktifkan kelembagaan untuk pelaksanaan kegiatan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan di tingkat
Kabupaten/Kota bersama SKPD dan pihak lain yang terkait.
5.
Melakukan pembinaan teknis
dan pendampingan dalam
pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan kepada Kecamatan.
6. Menyelenggarakan peningkatan kapasitas mengenai pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan bagi
aparatur desa/kelurahan, Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM)
dan
lembaga kemasyarakatan serta pihak-pihak lain.
7.
Memfasilitasi sumber daya
dan
sumber dana
dari
APBD Kabupaten/Kota dan sumber
daya lain untuk pelaksanaan dan pembinaan kegiatan permberdayaan masyarakat bidang kesehatan.
8.
Menyelenggarakan sistim database dan informasi
kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan pada
lingkup Kabupaten/Kota yang
terintegrasi.
C.4. Monitoring Evaluasi
1.
Pemantauan berkala terintegrasi perkembangan kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan lingkup Kabupaten/Kota secara berkala.
2. Pemantauan dan pengawasan
oleh lembaga yang terbentuk di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan tugas
dan fungsinya.
3.
Melaporkan perkembangan dan
upaya perbaikan
kegiatan pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan kepada pengambil kebijakan di tingkat
kabupaten/kota secara berkala.
4.
Melakukan evaluasi secara
periodik. Hasil
monitoring dan evaluasi ini digunakan sebagai
rujukan untuk
melakukan
kegiatan yang berkelanjutan.
Langkah-langkah pelaksanaan
kegiatan di atas selanjutnya dilakukan di tingkat Kecamatan dan
Desa/Kelurahan sesuai dengan kewenangannya.
Dengan menerapkan langkah-langkah pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat
di bidang kesehatan, maka keberhasilan kegiatan yang
dilakukan, baik di
tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan
desa/kelurahan dapat terukur dengan baik.
BAB
VI INDIKATOR
KEBERHASILAN
Indikator
keberhasilan kegiatan pembinaan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan dapat dilihat dari pencapaian
upaya-upaya yang dilakukan, baik di tingkat
Pusat, propinsi dan kabupaten/kota, sebagai berikut:
A. TINGKAT PUSAT
1. Adanya
kebijakan dan pedoman yang mendukung operasionalisasi kegiatan pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan.
2. Terbentuk dan
berfungsinya kelembagaan untuk
kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan Tingkat Pusat.
3.
Tersosialisasinya kebijakan, pedoman dan
petunjuk teknis
yang mendukung operasionalisasi
kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan
4.
Terlaksananya pembinaan teknis
dan pendampingan dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan kepada Provinsi.
5.
Terselenggaranya upaya peningkatan kapasitas terkait pemberdayaan masyarakat
bidang
kesehatan bagi
aparatur
Provinsi.
6.
Teralokasinya anggaran yang bersumber dari APBN atau sumber
lain yang dapat dipertanggungjawabkan
untuk kegiatan pembinaan pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan.
B.
TINGKAT PROVINSI
1.
Adanya kebijakan, pedoman dan
petunjuk teknis yang mendukung operasionalisasi kegiatan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan.
2. Terbentuk dan berfungsinya
kelembagaan
untuk
pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan Tingkat
Provinsi.
3.
Tersosialisasikannya kebijakan, pedoman dan petunjuk teknis
yang mendukung operasionalisasi
kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan
4.
Terlaksananya pembinaan teknis
dan pendampingan dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan kepada Kabupaten/Kota.
5.
Terselenggaranya upaya peningkatan kapasitas terkait pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan bagi aparatur
Provinsi dan Kabupaten/Kota
6. Teralokasinya anggaran yang
bersumber dari APBN,
APBD atau sumber lain yang
dapat dipertanggungjawabkan untuk kegiatan pembinaan pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan.
C.
TINGKAT KABUPATEN/KOTA
1. Adanya
kebijakan, pedoman dan petunjuk teknis yang mendukung operasionalisasi kegiatan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan.
2. Terbentuk dan berfungsinya kelembagaan untuk
pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan Tingkat
Kabupaten/Kota.
3.
Tersosialisasikannya kebijakan, pedoman dan petunjuk teknis
yang mendukung operasionalisasi
kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan
4.
Terlaksananya pembinaan teknis dan pendampingan pada petugas
kegiatan pemberdayaan masyarakat
bidang
kesehatan
kepada
Kecamatan.
5.
Terselenggaranya upaya peningkatan kapasitas pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan bagi
Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat dan kader.
6. Teralokasinya anggaran yang
bersumber dari APBN,
APBD atau sumber lain yang
dapat dipertanggungjawabkan untuk kegiatan pembinaan pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan.
7.
Adanya UKBM yang
aktif
melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan.
Dengan
tercapainya indikator keberhasilan ini maka dapat dikatakan bahwa pembinaan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan memberikan kontribusi yang besar dalam mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing.
BAB VII PENUTUP
Pedoman ini
sebagai acuan bagi berbagai pihak terkait dalam pelaksanaan dan
pembinaan pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan yang tetap harus memperhatikan prinsip proses pembelajaran, manfaat dan asosiasi yang
tentunya tidak terlepas dari kondisi wilayah. Keberhasilan dari pencapaian sasaran
kegiatan dimaksud
tergantung pada komitmen yang
kuat dari berbagai pihak, baik pemerintah,
swasta/dunia usaha dan masyarakat serta seluruh komponen di masyarakat dalam
implementasi kegiatannya.
Meningkatnya pelaksanaan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan diharapkan mampu
mendorong upaya kesehatan
bersumber daya. Dengan demikian
masyarakat
mampu mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi secara mandiri
dan mewujudkan perilaku hidup bersih
dan sehat dengan lingkungan yang kondusif agar derajat kesehatannya meningkat.
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NAFSIAH
MBOI
Download PMK Nomor 65 Tahun 2013 PDF
Bagi Anda yang mencari salinan PDF PMK Nomor 65 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Pembinaan Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan.
Berikut ini file download dokumen-nya:
Tag terkait:
- pmk 65 tahun 2013
- permenkes 65 tahun 2013
- peraturan menteri kesehatan nomor 65 tahun 2013
- juknis pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan
- pmk nomor 65 tahun 2013 pdf
- juknis kesehatan
Posting Komentar